Rabu, 24 Februari 2016

Chapter 3 : Radikalisme Setan

Sumber foto : https://endtheillusion.files.wordpress.com/2012/06/newworldordersm.png

Chapter 3 : Radikalisme Setan

Aku hidup di zaman yang semuanya tentang  uang, pembelaan tentang hak asasi, dan saling mebenarkan ajaran yang dianggap paling benar. Semuanya karena uang? mengapa? yang aku lihat, mulai dari lahir manusia sudah diajarkan bagaimana hidup yang sejahtera dan membanggakan kedua orangtuanya, dengan disekolahkan hingga kejenjang yang lebih tinggi sehingga mampu mencari uang untuk kesejahteraan. Pendidikan yang tinggi mampu membuat pola pikir manusia berubah, dahulu pendidikan bertujuan untuk mencari ilmu kehidupan, semua terfokus untuk lompatan ilmu yang lebih baru lagi, misalnya dulu para filsuf-filsuf yunani, mereka mencari ilmu agar dapat pemikiran pemikiran baru yang lebih baik. Sangat berbeda dengan penddidkan yang ada di desaku, mereka menyekolahkan anak-anak mereka agar dapat uang yang banyak, para orang tua juga mendoktrin dengan kalimat-kalimat tertuju pada uang, “jika kamu tidak sekolah nanti besarnya mau jadi apa ? mau makan apa kalau tidak ada duitnya ? “. Doktrin-doktrin kapitalis seperti itu yang banyak di terapkan di zaman kebingungan ini. Beranjak dewasa, anak-anak di desaku mulai merasakan persaingan social, bahkan sebelum beranjak dewasa, dimana di sekolah dasar mereka terlihat adanya persaingan, yang pintar dapat tindakan social yang lebih, yang bodoh semakin terasingkan, sangat terlihat persaingan seperti itu menyebabkan strata-strata social mulai dari kecil.

Dijenjang yang lebih tinggi nilai persainganya semakin radikal, kenapa ? pemikiran para remaja tidak stabil, atau mengalami kebingungan, dengan diberikan pemikiran-pemikiran baru, kebanyakan langsung dia ikuti tanpa berpikir dua kali. Mereka yang bingung menyebabkan permusuhan antar kelompok-kelompok. Kelompok satu berpandangan “A” sedangkan kelompok lain berpandangan “B”, persaingan seperti itu tidak akan berjalan baik sehingga sampai kapanpun akan terjadipermusuhan, tidak ada yang salah, semuanya merasa paling benar dan menimbulkan remaja-remaja pembohong. Aku tertarik tentang kutipan suku-suku pedalaman terdahulu bahwa pendidikan yang tingi akan menimbulkan sifat pembohong, saling membohongi antar sesama. Kemunafikan merajalela, dimana remaja dengan predikat pintar akan saling menjatuhkan sesamanya, dengan kepintaran mereka, selain untuk mencari uang, mereka menggunakan untuk tipu daya, mulai dari kemunafikan hingga pada korupsi. Mereka tidak peduli dengan lingkungan yang baik, mereka justru sering mencari kesalahan-kesalahan dari kelompok lain mengatasnamakan kepentingan bersama, mecari kebaikan-kebaikan penguasa untuk menjilat mereka agar terpandang. Maka mereka tidak bisa hidup dengan tenang, dibingungkan oleh pemikiran anjing.

Pemikiran persaingan berlanjut ke kehidupan bermasyarakat, yang pintar berkuasa, yang bodoh hanya dibohongi penguasa. Orang yang bodoh tapi pemikiranya radikal dan sok pintar akan mencari kesalahan-kesalahan penguasa, menjatuhkan dari kepemimpinan, atau sampai membunuhnya. Mereka dijadikan alat propaganda oleh orang-orang pintar berkepentingan untuk melakukanya, setelah mereka sukses menjalankanya, rasa bertanggungjawab atas tindakanya menghilang dari otaknya, salah, salah dan salah yang ada di pikiranya tanpa ada solusi terbaik. Jika diberikan kursi kepemimpinan, orang bodoh justru lupa dengan sifat munafik pemimpin, mereka lambat laun timbul sikap munafik juga, korupsi, dan lain-lain.  Aku tidak suka melihat orang pintar munafik, apalagi orang bodoh yang sok pintar, aku seakan mau mengeluarkan isi otak saya melalui hidung jika melihatnya. Penguasa juga tidak mau disalahkan, jika ada yang tidak sepaham, maka akan ditinggalkan, diasingkan, diculik, dan dibunuh diam-diam. Orang bodoh sok pintar juga menganggap tindakanya atas nama kebenaran, yang tidak sepaham, akan dijatuhkan sampai penguasa tersebut turun jabatan, kalau tidak puas, mereka akan mengerahkan massa untuk membuat teror-teror kepada penguasa.

Pemikiran subjektifku ini memang akan salah jika dipahami oleh orang-orang dari kelompok-kelompok tersebut. Tapi memang kenyataanya, pemikiranku ini yang terjadi secara fakta di zaman kebingungan ini. Aku bisa berpikir ini, karena ayah Sukoco mengajarkanku untuk tidak mencari uang, melainkan mencari ilmu yang sesuai dengan minatku, berusaha tidak mencari kesalahan kesalahan orang lain dan juga tidak membenarkan apa yang aku lakukan di kehidupan, sehingga dengan ajaran ayah ku ini, aku tidak bisa diterima di masyarakat yang berkelompok, berorganisasi, berkuasa ini. Aku hanya ingin seperti filsuf terdahulu yang hanya mencari ilmu untuk diriku sendiri, untung-untung pemikiranku ini diterima satu orang saja yang ada di desaku ini.

Bersambung . . . .

*NB : Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Radikalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar