Chapter
2 : God Village
Gustave Dore's illustration for Dante's "The Inferno." |
Ketika
aku pertama kali ditemukan di got dengan keadaan biadab oleh Sukoco, aku
ditemukan selama 2 hari terlantar dengan
hidup bercinta dengan tikus-tikus got. Keadaan aku ditemukan seperti itu
menimbulkan pertanyaan besar bagiku, mengapa hanya mantan pembunuh bayaran ini
yang menemukan dan memperdulikan anak adam di got ? ada apa dengan penduduk di desa
itu ?.
“Yah
kenapa ayah peduli denganku, dengan mengambil aku dari got ?”
“Iya
aku peduli karena seperti yang pernah ayah bilang, ayah ingin menghapus masa
lalu hitam ayah”
“Lalu
kemana penduduk desa ini yah ? kenapa tidak memperdulikanku ?”
“Memang
desa ini ramai, tapi penduduknya semua menganggap mereka sebagai tuhan,
berlagak seperti tuhan dan berkehidupan yang menuhankan uang dan kekuasaan.”
Dengan
rasa penasaran dari cerita ayah Sukoco, aku semakin berpikiran di luar batas
kewajaran manusia terhadap kehidupan penduduk tuhan ini. Dari cerita-cerita
yang pernah kudengar, selain dari cerita Sukoco, Tarmin kepala desa yang memimpin
adalah mantan anggota dewan yang terhormat yang sudah habis masa tugasnya
sebagai malaikat di kursi dewan. Kepemimpinan kepala desa Tarmin sangat bobrok
dan lebih dari kepemimpinan hewan-hewan tolol. Dengan embel-embel mantan anggota
dewan, dia membuat kebijakan yang hanya menimbun pundi-pundi rezeki ke dalam
perut buncitnya sendiri. Tarmin menarik pajak yang sangat tinggi ke pada warga
tuhan ini, selain menarik pajak yang tinggi, dia mempunyai kebijakan yang
terbobrok dari yang paling bobrok, kebijakanya adalah pembayaran hutang kepada
desa dengan sistem uang dibayar dengan menjadikanya jongos selama masa hidupnya
sebagai manusia.
Tidak
kaget jika kehidupan di desa anjing ini sangat bobrok dengan kebijakan yang
diterapkan seperti itu. Aku melihat pekerjaan penduduk rata-rata bekerja
sebagai pegawai di kota, menjadi pegawai di kota hanya bagi penduduk yang
mempunyai uang berlebih dari hasil ghoib yang tidak tahu dari mana asalnya.
Sedangkan penduduk yang tidak mempunyai uang, rata-rata bekerja serabutan,
apapun dikerjakan untuk mendapatkan uang. Enak bagi yang bekerja sebagai
pegawai tuhan berangkat pagi pulang sore, makan, merokok, tidur dan bercinta
tiap malam dengan istrinya tipa bulan mendapat uang, jadi tidak memikirkan
hutang dan tidak masalah dengan pajak pajak tinggi dari kepala desa. Kehidupan pegawai berkiblat pada kehidupan
kota yang seperti surga yang menyajikan kenikmatan-kenikmatan nafsu belaka.
Seperti
surga dan neraka, kehidupan sehari-hari pekerja serabut hanya fokus kepada
uang, uang dan uang, apapun dilakukan agar pundi-pundi rezeki memnuhi nafsu
manusianya. Tidak peduli dengan kodrat-kodrat manusia, tipu muslihat, judi,
semuanya dilakukan. Setiap hari merasa dihantui dengan bagaimana cara membayar
pajak yang teramat tinggi ini dan konsekuensinya dijadikan jongos seumur hidup.
Melihat desa seperti itu aku bagaikan melihat planet bumi dan matahari yang
tidak sama kehidupanya, aku memaklumi mengapa mereka mengabaikanku waktu kecil,
ya karena mereka dibutakan oleh uang, kekuasaan, nafsu, sex dan segala sesuatu
yang bermoral anjing. Untungnya, rumah ayah Sukoco letaknya jauh dari pusat
kegiatan penduduk desa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar