Kamis, 03 Desember 2015

Chapter 2 : God Village



Chapter 2 : God Village
art-gustave-dore-divine-comedy-the-inferno-620.jpg
Gustave Dore's illustration for Dante's "The Inferno."
 
         Ketika aku pertama kali ditemukan di got dengan keadaan biadab oleh Sukoco, aku ditemukan selama  2 hari terlantar dengan hidup bercinta dengan tikus-tikus got. Keadaan aku ditemukan seperti itu menimbulkan pertanyaan besar bagiku, mengapa hanya mantan pembunuh bayaran ini yang menemukan dan memperdulikan anak adam di got ? ada apa dengan penduduk di desa itu ?.

“Yah kenapa ayah peduli denganku, dengan mengambil aku dari got ?”
“Iya aku peduli karena seperti yang pernah ayah bilang, ayah ingin menghapus masa lalu hitam ayah”
“Lalu kemana penduduk desa ini yah ? kenapa tidak memperdulikanku ?”
“Memang desa ini ramai, tapi penduduknya semua menganggap mereka sebagai tuhan, berlagak seperti tuhan dan berkehidupan yang menuhankan uang dan kekuasaan.”

Dengan rasa penasaran dari cerita ayah Sukoco, aku semakin berpikiran di luar batas kewajaran manusia terhadap kehidupan penduduk tuhan ini. Dari cerita-cerita yang pernah kudengar, selain dari cerita Sukoco, Tarmin kepala desa yang memimpin adalah mantan anggota dewan yang terhormat yang sudah habis masa tugasnya sebagai malaikat di kursi dewan. Kepemimpinan kepala desa Tarmin sangat bobrok dan lebih dari kepemimpinan hewan-hewan tolol. Dengan embel-embel mantan anggota dewan, dia membuat kebijakan yang hanya menimbun pundi-pundi rezeki ke dalam perut buncitnya sendiri. Tarmin menarik pajak yang sangat tinggi ke pada warga tuhan ini, selain menarik pajak yang tinggi, dia mempunyai kebijakan yang terbobrok dari yang paling bobrok, kebijakanya adalah pembayaran hutang kepada desa dengan sistem uang dibayar dengan menjadikanya jongos selama masa hidupnya sebagai manusia.

Tidak kaget jika kehidupan di desa anjing ini sangat bobrok dengan kebijakan yang diterapkan seperti itu. Aku melihat pekerjaan penduduk rata-rata bekerja sebagai pegawai di kota, menjadi pegawai di kota hanya bagi penduduk yang mempunyai uang berlebih dari hasil ghoib yang tidak tahu dari mana asalnya. Sedangkan penduduk yang tidak mempunyai uang, rata-rata bekerja serabutan, apapun dikerjakan untuk mendapatkan uang. Enak bagi yang bekerja sebagai pegawai tuhan berangkat pagi pulang sore, makan, merokok, tidur dan bercinta tiap malam dengan istrinya tipa bulan mendapat uang, jadi tidak memikirkan hutang dan tidak masalah dengan pajak pajak tinggi dari kepala desa.  Kehidupan pegawai berkiblat pada kehidupan kota yang seperti surga yang menyajikan kenikmatan-kenikmatan nafsu belaka.

Seperti surga dan neraka, kehidupan sehari-hari pekerja serabut hanya fokus kepada uang, uang dan uang, apapun dilakukan agar pundi-pundi rezeki memnuhi nafsu manusianya. Tidak peduli dengan kodrat-kodrat manusia, tipu muslihat, judi, semuanya dilakukan. Setiap hari merasa dihantui dengan bagaimana cara membayar pajak yang teramat tinggi ini dan konsekuensinya dijadikan jongos seumur hidup. Melihat desa seperti itu aku bagaikan melihat planet bumi dan matahari yang tidak sama kehidupanya, aku memaklumi mengapa mereka mengabaikanku waktu kecil, ya karena mereka dibutakan oleh uang, kekuasaan, nafsu, sex dan segala sesuatu yang bermoral anjing. Untungnya, rumah ayah Sukoco letaknya jauh dari pusat kegiatan penduduk desa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar