Resah
R.M Ajie
Kutemukan
awal dari rasa yang selama ini kucari hingga terasa seperti mencari pahala di
padang yang sangat sunyi. Perasaan yang sangat indah untuk dimengerti namun
sangat rumit untuk dimengerti, rasa ini muncul bukan karena aku menemukan jalan
yang dianggap oleh beberapa orang ajaran langit dan yang paling benar dari
ajaran-ajaran yang ada didunia fana ini. Adalah seorang makhluk yang seakan
dari surga yang memulai awal rasa yang selama ini telah hilang dalam lubuk hati
yang terdalam. Awal perjumpaan yang diakhiri di persimpangan jalan, aku dapat
merasakan aura yang terpancar berbeda dengan aura seseorang lainya. Senang, bahagia,
resah, sunyi bergejolak membuat pikiran kemunafikan yang ada dalam diriku
seolah tererosi seiring jalanya waktu. Perlahan-lahan kucampakkan perihal
kehidupan bejat di desaku, terasa aneh memang, mengingat diriku yang selalu
kritis untuk membenarkan warga desa biadab ini.
Kekritisan
ini sudah terselimurkan oleh kehadiran perempuan yang baru hadir mendamaikan
perasaan. “ada apa denganku ini ? tidak
seperti biasanya, kenapa aku sudah mencampakkan warga desa disini ?” tanyaku
dalam hati. “Ketika aku mencari kebodohan masyarakat, mengapa aku tidak
berkonsentrasi lagi untuk berpikir kritis ? mungkin aku lebih memikirkan dia
yang datang dari kota, aku sudah terkontaminasi kelembutan parasnya yang indah
seperti aku melihat kebaikan tuhan yang telah diciptakan”. Lebih dalam lagi,
cara berpakaiannya yang tidak diumbar sehingga membuatnya mempunyai aura
kebaikan dalam hatinya. Walaupun pada awal perjumpaan itu, aku bisa menilai
bahwa dia adalah perempuan berprinsip teguh.
Hari
demi hari aku menanti bertemu denganya, penantian ini menimbulkan rasa ingin
lebih tahu kepribadianya, Kuberjalan menembus cakrawala, dingin tak kurasakan,
tiba-tiba kejauhan aku melihat keindahan sempurna di dekat tempat beribadahnya.
Lebih dekat kuhampiri, kuawali dengan sapaan salam hangat yang spontan terucap,
“ apa yang kau tunggu pagi hari disini ?” kataku, “ aku tidak menuggu
siapa-siapa, aku hanya menanti kebaikan tuhan di pagi hari, apakah berbentuk
seseorang, berbentuk rezeki, atau yang lain aku tidak mempermasalahkanya”
lembut suaranya. Dia menceritakan panjang perihal penantianya, dia hanya pasrah
dan ikhlas dalam berkehidupan disini, tidak mempermasalahkan seseorang benar
atau tidak, terkadang jika terlalu kelewatan dia hanya cuek saja. Hatinya mudah
berubah, jika perasaanya mood terlihat
dari wajahnya yang begitu ceria dan tersenyum bahagia, disela-sela obrolan
terkadang kuselipkan kekonyolan yang ada dalam diriku, dia terus tersenyum
dengan tingkah ku yang konyol ini.
Obrolan
semakin mendalam, dia menceritakan tentang keluarganya, sosok ibu yang pertama
dia ceritakan, dia sangat kangen bila jauh dari ibunya, hanya bercerminlah yang
dapat mengobati kekangenanya. Aku sangat bahagia apabila ada yang menceritakan
tentang hal-hal pribadinya, seolah aku adalah tempat curahan hatinya yang bisa
memberi perhatian lebih. Kuceritakan juga tentang keluargaku, awalnya aku malu,
mengingat awal hidupku yang biadab ini. Dia menjadi pendengar sekaligus
pendamai hati ini, tidak kurasakan kesungkanan aku bercerita ini. Tidak terasa
berjam-jam kami bercerita, aku mengantarkan dia pulang kerumahnya yang searah
dengan rumahku. Terbayang-bayang dia dipikiranku, tidak ada satupun pikiran
lain di otakku ini. Kumantapkan seluruh hati ini kepada dia, semua kupasrahkan
semua kepada tuhan yang maha mengetahui.